MILENIAL SAMBAT
Jemariku tertebak melihat lalu lalang jalanan Surabaya yang makin jahanam. Kaum hedonis membabi buta dimana mana. Bersolek digedung gedung tinggi khas era masa kini. Sontak batinku berumpat, “dyamput! bagaimana nasib kaum papa jika terus menerus begini” kataku sambil kuseruput kopi dipinggiran kota.
Kabar terkini telah dirilis, upah minimun rakyat naik beberapa persen. Itu tanda mutakhir bagi kelas pekerja, tapi bukan berarti kaum buruh berhenti bimbang. Upah naik, pun kesenjangan naik pula. Milenial ketakutan dengan politisi genderuwo yang digaungkan suatu kaum.
“MISKIN TAPI BOROS!”
Tertampar pipi kanan kiriku oleh kata tajam ini. Masa harap harap cemas dalam diriku kian dipusingkan dengan kebutuhan sekunder dan gaya hidupku yang makin melejit. Pasak lebih besar daripada tiang. Penghasilan tak kuimbangi dengan gaya hidup.
Jika boleh. Lebih sering kalian hantam beberapa kalimat dikepalaku, supaya makin sadar otakku dalam berutang rasa. Kuingin bangkit dari ketidaksadaran. Melumat rapalan doa kaum kaum misterius yang bergayung sambut dihamparan gedung rekrutmen pegawai negeri sipil. Yang masal, yang sama rata sama rasa dari gelanggang yang berbeda.
Komentar
Posting Komentar