Berternak Kerbau Di Awan

Semalam desa di kaki gunung tertinggi di pulau ini diguyur hujan dahsyat. Orang orang sekitar hilir mudik sibuk ngopeni peniset dan isi dasternya masing masing. Karena lantas takut esok hari terjadi air bah yang menggulung desanya. Supeno, anak petani bawang yang setiap hari angon (red: mencari rumput) di sawah pun ikut khawatir dengan keadaan semalam.

Apalagi, saat melihat di televisi dirumah Pak Lurah. Ada berita yang ternyata beberapa hari lalu terjadi longsor di kaki bukit. Rumah dan tanah menjadi antah berantah. Tak ada satupun yang terselamatkan kecuali cinta, Kekasih.  Berita yang sudah menjadi trending topic nasional ini baru sampai di Desa Supeno karena keterbatasan akses listrik. Media massa di seluruh penjuru Desa hanya dari televisi pak Lurah. Itupun hanya beberapa channel yang tertangkap dari antena yang sengaja dipasang di pohon kelapa tertinggi di Desanya.

Supeno gusar. Berpikir sedemikian rupa tentang kerbaunya. Lantas siapa lagi yang ia pikirkan. Ia lelaki yang hampir udzur tapi belum menikah. Usianya hampir menembus kepala tiga tapi tak kunjung bertemu jodoh. Wanita di kampungnya serasa tak berselera membina hubungan dengannya apalagi sampai ke jenjang pelaminan. Keadaan semakin genting. Menjelang adzan subuh hujan belum reda

juga. Tampak air menggulung dahsyat dari hulu sungai tumpah ke Desanya. “Aduh biyung! sesok keboku mangan opo?” pekiknya gundah gulana dalam hati. Yang jadi pertanyaan. Disaat orang Desa sibuk menyelamatkan harta benda dirumahnya masing masing. Supeno malah repot mengelus elus kerbaunya. Semacam ada kekhawatiran yang mendalam tentang bagaimana nasib kerbaunya esok hari.

 “Bagaimana cara menerjemahkan definisi kebahagiaan, Kekasih?. Jika manusia dan binatang sama sama makhluk Tuhan, apalagi yang perlu diperdebatkan soal siapa yang lebih sempurna. Bahwasanya terlampau sering manusia berperilaku seperti binatang dan melupakan harfiah sebagai manusia itu sendiri.”


Dan pada akhirnya air bah memang tak dapat dielakkan. Seisi Desa mendadak menjadi danau persinggahan. Seisi Desa luluh lantah diterjang badai dari hulu sungai kiriman dari dataran tinggi. “Bo kebo, yen dino iki ora ono suket gawe koe nang kene. Mengko koe tak angon ning langit wae. Ojo kuatir keleson. Gusti Pengeran ora sare. Nang langit kae akeh panguripan gawe awakdewe. Yen ancene rejeki ora bakal luput. Menungso kadang lali marang sing Kuoso wedi marang uripe dewe, njaluk opo sing dikarepne tapi lali marang ‘sing nggawe urip’. Padahal urip nang dunyo mung mampir ngombe.” 


#
30 April 2017

Komentar

Postingan Populer