Katalog Digital Bienalle Jogja #Eduator4 #AgeofHope #IndonesiaMeetsBrazil

           Suatu kehormatan bagi siapa saja yang turut menjadi bagian dari reuni besar para seniman dalam acara ini. Setelah ditahun-tahun sebelumnya sukses dalam pagelaran yang dihelat dua tahun sekali ini, Yayasan Bienalle yang berada di Taman Budaya Yogyakarta (TBY) kali ini membuat sebuah gebrakan dengan mengusung konsep " Age of Hope" yang berarti usia harapan yang digadang akan menimbulkan sinergi bagi para seniman muda negeri ini. Bertempat di Jogja National Mesuem (JNM), kali ini Bienalle Jogja dengan bangga menggandeng seniman seniman Brazil dalam rangkaian helatan yang digelar empat puluh hari penuh ini.





"suasana lobby depan Jogja National Museum"
Empat ratus ribu pengunjung bukan hitungan sedikit jika berkaca dari acara Bienalle  ditahun tahun sebelumnya. Di lobi pintu masuk, seperti biasa pengunjung disuguhkan dengan daftar pengunjung. Tak lupa oleh oleh kecil bagi pengunjung sebuah katalog visual dan merchandise Bienalle. Jogja Nasional Museum (JNM) berdiri dengan kontruksi tiga lantai disertai lorong lorong yang dihiasi goresan mahakarya seniman seniman Bienalle. Mengangkat pesan sosial, polusi iklan di tembok tembok penjuru kota yang dianggap tak berharga, justru lebih punya nilai estetika.Berikut karya karya Bienalle Jogja.
#Ecuator4 #AgeofHope #IndonesiaMeetsBrazil 



"When i Was Google Ahok"

When I Google Ahok Oleh Aditya Novali

Karya ini berangkat dari  pengalaman pribadinya dalam mengakses internet untuk mencari informasi, Aditya menggambarkan bagaimana informasi yang tumpah ruah di internet justru malah membuat fakta-fakta menjadi kabur.






"Interference"
Interference oleh Arin Dwi Sunaryo


Interference merupakan olahan karya-karya Arin yang telah lalu dengan cara yang berbeda. Ia meninggalkan bentuk pemanggungan karyanya yang menempatkan karya lukisnya  sebagai “pusat”, dengan menyebarnya ke beragam titik ke dalam berbagai posisi. Arin menghadirkan karya-karyanya terdahulu dalam bentuk yang sudah terdistorsi. Karya ini adalah usaha Arin untuk keluar dari “zona nyaman” kesenimanannya. Apa yang ingin di hadirkan Arin kali ini? Bagaimana cara dia keluar dari "zona nyaman”?








"Art and Peace for Football"

Art and Peace for Football Oleh Patriot Mukmin

Patriot Mukmin mengangkat tema tentang ilusi dunia sepakbola Indonesia dalam karyanya. Ia tertarik untuk berangkat dari kenyataan bahwa pada tahun ini ada beberapa suporter yang meninggal di stadion sepakbola ketika mendukung tim kesayangannya. Karya ini merupakan responsnya atas karya Tisna Sanjaya pada tahun 2000 yang berjudul Art and Football for Peace. Melalui karyanya ini, Patriot meminjam bahasa seni guna menyuarakan nilai-nilai perdamaian dan persahabatan dalam sepakbola.




"The Death of a Tiger"
The Death of a Tiger oleh Timoteus Anggawan Kusno

"Teriakan-Teriakan itu menggema dalam senyap!"
Timoteus menelusuri tradisi rampog macan, dan menemukan kekerasan yang dilakukan kerumunan.






"Show Must Go On"
Show Must Go On Oleh Sangkakala

Peristiwa 
panggung dalam suatu pementasan adalah sesuatu yang nyata dan hanya bisa sekali tanpa bisa diulang.




"Menelan dan Melaju"

Menelan dan Melaju Oleh Wisnu Auri


Setelah dalam bebebapa pameran terakhir Wisnu Auri meninggalkan seni lukis, bahkan ia sendiri seperti menolak seni lukis yang konvensional, kali ini Wisnu justru membuat karya lukis untuk Jogja Biennale XIV. Wisnu mempelajari kembali craftsmanship dengan menggunakan media cat minyak. Empat puluh sembilan lukisan dalam berbagai ukuran ia selesaikan. Lukisan-lukisan tersebut ia rangkai dalam beberapa episode perjalanan, yang menggambarkan perlintasannya dari situasi kegelisahannya pada diri sendiri hingga pada akhirnya berdamai dengan diri sendiri.




"Kamu Pecundang Kalau Tidak Bisa Tidur"
Kamu Pecundang Kalau Tidak Bisa Tidur Oleh Mulyana Mogus.

Karya Mulyana untuk Biennale Jogja XIV adalah sebuah perjalanan menuju harapan. Mulyana merefleksikan konsekuensi atas pilihan-pilihan hidup yang ia ambil, menurut Mulyana harapan bertalian dengan kehendak dan kodrat manusia.





"The Caretaker"

The Caretaker oleh Jonathas De Andredade O Caseiro.

Menawarkan sebuah dialog dengan lm rilisan tahun 1959, O Mestre de Apipucos, oleh sutradara Joaquim Pedro de Andrade. O Caseiro dikonstruksi secara simetris dalam dua narasi. Di sebelah kiri, ditampilkan gambar dari lm tahun 1959 yang dengan baik hati diserahkan oleh produsernya. Filmes do Serro yang menayangkan kehidupan sehari-hari Gilberto Freyre di rumahnya yang terletak di Distrik Apipucos, Recife. Sementara di sebelah kanan, Jonathas de Andrade secara berbarengan meniru adegan lm O Mestre de Apipucos, namun tokoh Freyre digantikan oleh asisten rumah tangga yang bekerja di rumah mewah milik sosiolog itu.

Hubungan paralel antara kedua tokoh tersebut karakter historis dalam lm dokumenter dan karakter anonim dalam lm aksinya menciptakan sebuah ketegangan yang menonjolkan aspek kelas dan ras, yang merayakan dua topik utama yang digeluti Freyre dalam pekerjaannya, karena dalam lm Pedro de Andrade, tokoh sosiolog tersebut tampak menjalani hidup ala aristokrat.





"Between a Bless and Curse"
Between a Bless and Curse Oleh Daniel Lie

“Between a Bless and a Curse”

Merupakan sebuah karya tiga babak yang diajukan oleh Daniel untuk menandai residensinya di Yogyakarta selama dua bulan. Karya ini berupaya mengaitkan sejarah personal senimannya dengan jejak budaya yang menghubungkan Indonesia dan Brasil sebagai dua negara yang telah membesarkan seniman tersebut.



"Doa Ibu Sepanjang Zaman"

Doa Ibu Sepanjang Zaman Oleh Zico Albaiquni

Karya-karya Zico Albaiquni sebelumnya terpengaruh pada lukisan-lukisan realis S. Sudjojono yang bertemakan realisme sosial. Obyek-obyek dalam lukisannya adalah obyek- obyek yang problematis, misalnya tubuh perempuan yang ditutup hijab, tempat ibadah di tengah kompleks lokalisasi, atau petani yang lahannya dikepung perumahan. Kali ini obyek lukisan Zico agak meloncat dari kebiasaannya, ia memotret tubuh perempuan mitologis yang jauh dari budayanya sendiri. Bagi Zico tubuh perempuan selalu menjadi problem di dalam budaya kontemporer Indonesia. Zico mengusik lagi problem tersebut dan menunjukkan bahwa dalam tradisi masyarakat pertanian di Indonesia, perempuan justru memegang posisi yang penting dan krusial. 




"Caesura"
Caesura Oleh Cinanti Astria Johansjah

Jeda dan hening adalah tema-tema besar yang muncul dalam tiap karya Cinanti. Kesempatan untuk beristirahat (adempauze) diwujudkan dalam bentuk ruang yang disempitkan atau diluaskan melalui permainan bahasa visual yang diisi oleh subyek  dan Liyan. Cinanti menawarkan ruang yang memberikan kesempatan jeda sejenak dari kompleksitas lingkungan sosial yang telah membelit dan membentuk diri 'si subyek', dan menawarkan refleksi atas keberadaan diri dengan menghadirkan obyek-obyek subtil yang “mengganggu” serta “menghadirkan” kemelut.






"Requiem"
Requiem oleh Roby Dwi Antono

Bagi Roby, 
manusia hanya bisa menangkap sebagian, dari keseluruhan kebenaran. Melalui karya ini Roby ingin menunjukkan kenyataan bisa dilihat dari berbagai sisi yang berbeda dan menghasilkan kesimpulan yang bisa berbeda satu sama lain.





"Petikan Alkitab"
Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu apa yang dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia." (Matius 19:6)


Yudha Kusuma Putera “Fehung” berangkatdari petikan Alkitab di atas sebagai titik pijak karyanya. Yudha lebih jauh lagi melihat sepasang manusia yang dipersatukan oleh institusi pernikahan di hadapan Tuhan, tidak hanya dalam tataran rohani, melainkan juga secara sik, sosial, dan kultural keduanya menjadi satu. Bekerjasama dengan beberapa keluarga untuk proses karya yang ia presentasikan untuk Biennale Jogja XIV. Yudha memotret keluarga-keluarga tersebut dalam pose dan frame yang tertata. Hasilnya, keluarga- keluarga tersebut menjadi “makhluk” baru di mata kamera Yudha. Interpretasinya membuat ikatan di dalam keluarga yang bersifat non- tangible menjadi sesuatu yang tangible dan “nyata” sekaligus janggal.



"To Infinity And Beyond"

To Infinity And Beyond Oleh Nurrachmat  Widyasena.

Menyitir ungkapan Buzz Lightyear, astronot mainan dalam lm Toy Story, Nurrachmat Widyasena membangun karyanya atas bayangan mimpi-mimpi tentang masa depan yang gemilang. Sebagai warga negara dunia ketiga, Nurrachmat bermimpi tentang gelora atas kemajuan di masa depan. Tokoh-tokoh digambar dalam gaya animasi yang seakan- akan melayang di udara, berusaha meraih cahaya yang ada di “atas sana.” Strategi visual Nurrachmat menempatkan karyanya berada di tengah-tengah antara propaganda, ironi, dan komedi. Nurrachmat sadar masa depan negara dunia ketiga yang masih kabur, tokoh-tokoh dalam gaya animasi, gambar yang melayang- layang, kemajuan seakan mimpi atau lamunan, harapan yang terus berlipat dan kenyataan yang makin menjauh dari impian.




"X WVLV"
X WVLV Oleh Indieguerillas

Indieguerillas menampilkan karya interaktif di Biennale Jogja XIV. Indieguerillas mengajak para pengunjung untuk menelusuri suara-suara yang khas dari budaya Yogyakarta sembari mengeksplorasi visualisasi yang ditawarkan indieguerillas dalam karyanya ini. Ide dari karya ini adalah membentuk ruang yang memberi pengalaman auditif dan visual, serta memberi “kuasa” lebih pada pengunjung untuk mengkombinasikan unsur auditif dan visual di ruangan tersebut. Karya ini hendak membicarakan tentang adanya nilai yang berubah dan bertahan di dalam perkembangan kota Yogyakarta. Tidak hanya sekadar menjadi nostalgia, tapi juga mengajak kita untuk kembali menelusuri kekayaan nilai kebudayaan di sekitar kita hari ini.






"Dunia Dalam"
Dunia Dalam Oleh Gatot Pujiarto

Jajaran potongan kain perca yang disusun Gatot Pujiarto pada awalnya adalah permainan elemen garis, warna, dan bidang. Pada satu titik di tengah kerjanya Gatot menemukan imajinasi tentang ruang gelap dan dalam. Gatot Pujiarto kemudian mengembangkan imajinasi tentang kehidupan di ruang yang gelap dan dalam, yang banyak ia pinjam dalam kehidupan di bawah laut versinya. Gatot mengajak kita untuk turut “menyelam” ke dunia imajinasi yang ia bentuk dalam karya berukuran 3 x 6 meter ini. Di dalam kegelapan di dunia bawah laut, kita hanya dapat membuat tafsir-tafsir atas kehidupan di dalamnya. Bagi Gatot, apa yang ada di kedalaman, laiknya hati manusia dan kehidupan pada umumnya adalah misteri yang terus menerus coba ditafsir atau diterangkan.


***

          Demikian kumpulan karya dan fotografi yang telah saya bidik, Mungkin masih jauh dari kata kesempurnaan.Berbagi pengalaman perjalanan dengan cara menikmati mahakarya semacam ini sangat indah. Luar Biasa. Berlari sejenak dari rutinitas dan bising ibu kota. Sampai jumpa di pentas pentas selanjutnya. Kunjungi info lengkapnya di :
https://www.instagram.com/biennalejogja/ dan
http://biennalejogja.org/2017/
"Maria Indirasari"








Komentar

Postingan Populer